Perusahaan World Com adalah perusahaan penyedia
layanan telepon jarak jauh. WorldCom melakukan beberapa akuisisi pada tahun
90-an terhadap perusahaan lain dan menyebabkan peningkatan pendapatan pada
tahun 2001 yaitu sebesar $392 milyar dan berhasil menempati posisi ke 42 dari
500 perusahaan(menurut majalah Fortune).
Pada tahun 1998 Amerika mengalami resesi ekonomi yang
menyebabkan permintaan terhadap infrastuktur internet menurun drasis, sehingga
mengakibatkan masalah pada WoldCom yang menyebabkan turunnya pendapatan
perusahaan tersebut. Nilai pasar saham perusahaan WorldCom turun dari $150
milyar (januari 2000) menjadi $150juta (juli 2002). Keadaan ini membuat pihak
manajemen berusaha melakukan praktek akuntansi untuk menghindari berita buruk
tersebut.
Kehancuran WorldCom sebenarnya juga karena kerapuhan
kondisi finansialnya. Untuk menutupi defisit kasnya, manajemen WorldCom
memanipulasi laporan keuangan, sehingga kinerjanya jadi kelihatan cantik.
Caranya sebenarnya terbilang elementer (tapi tampaknya ditutup-tutupi oleh
akuntannya, Arthur Andersen), yakni dengan menyulap biaya sewa yang seharusnya
merupakan biaya operasional rutin yang akan mengurangi pendapatan pada tahun
yang sama menjadi biaya investasi, sehingga bisa disebar untuk jangka 10 tahun.
Biaya yang disulap oleh WorldCom per kuartalnya sebesar US$ 500-800 juta.
Dengan manipulasi data seperti ini, WorldCom bisa melaporkan laba bersih US$
1,4 miliar pada kuartal I/2001 dan US$ 172 juta pada kuartal I/2002. Padahal,
kalau manajemen WorldCom melaporkan apa adanya, selama lima kuartal rapornya
akan merah. Inilah informasi yang menyesatkan para investor dan kreditor.
Selepas pelengseran Bernard J. Ebbers (pendiri
WorldCom) sebagai CEO, penggantinya John Sidgmore menyewa akuntan baru, KPMG,
untuk meneliti kejanggalan keuangan WorldCom. Dengan gampang kemudian
diketahui, bahwa Scott D. Sullivan, CFO WorldCom, dengan sengaja telah
memasukkan US$ 3,85 miliar (dari total biaya sewa jaringan yang pada 2001 saja
mencapai US$ 8,12 miliar) ke pos yang tak seharusnya. Sang CFO pun langsung
dipecat. Akan tetapi, investor publik dan kreditor telanjur kehilangan dana
besar, sekaligus makin memupuskan kepercayaan publik.
Satu lagi penyebab yang menonjol terhadap peristiwa
WorldCom adalah adanya sifat keserakahan pada Bernard J. Ebbers ( pendiri
WorldCom ) hal itu terlihat ketika meminjam uang perusahaan untuk memborong
saham WorldCom (yang diyakininya akan terus naik) dengan mekanisme transaksi
margin yang akhirnya pinjaman tersebut tak mampu dikembalikan Ebbers.
Skandal keuangan yang terjadi di Amerika Serikat yang
dimulai dengan skandal Enron, Worldcom makin terus menekan kinerja Bursa Saham
di Amerika. Skandal keuangan ini membuat masyarakat perlu mengamati lebih
lanjut peran eksekutif perusahaan (CEO dan CFO), perusahaan akuntan, investment
banker, investor, dan regulator dalam kontribusinya terhadap krisis keuangan.
Salah satu sebab utama dari kebangkrutan WorldCom
adalah sikap serakah dari eksekutif senior yang didukung oleh sistem insentif
kompensasi yang keterlaluan. Insentif yang dimaksud adalah sistem stock option
yang mengizinkan eksekutif membeli saham dari perusahan yang mereka kelola.
Sering kali jauh di bawah harga pada waktu itu. Sistem ini menyebabkan
eksekutif perusahaan mencoba memaksmimalkan nilai saham dari perusahaan.
Meningkatkan nilai perusahaan memang telah menjadi kredo bagi para ekseutif,
tetapi sayangnya meningkatkan harga saham kadang-kadang dilaksanakan dengan
cara yang tidak etis dan sering kali melanggar aturan atau hukum. Perusahaan menjadi
cenderung memalsukan atau memberikan keadaan keuangan yang tidak akurat dan
dibesar-besarkan asalkan harga saham mereka terus naik.
Sebab lain dari kegagalan adalah kurangnya
independensi akuntan dan analis keuangan. Ketidakakuratan dari data-data keuangan
sering kali juga tidak ”tertangkap” oleh tim audit. Dalam hal ini, kredibilitas
akuntan menjadi pertanyaan. Tidaklah mengejutkan bila hal ini sampai terjadi.
Soalnya, dalam banyak kasus, perusahaan akuntan yang melakukan audit pada saat
yang bersamaan juga memberikan jasa konsultasi kepada perusahaan tersebut.
Ketakutan akan kehilangan account yang penting sering kali membuat tim audit
tidak membeberkan indikasi terjadinya ketidakwajaran dalam pembukuan.
Institusi keuangannya di Amerika sering kali
menguliahi negara-negara Asia semasa krisis keuangan melanda Asia tentang
corporate governance dan transparansi yang buruk. Namun, kasus yang melanda
Enron benar-benar menunjukkan lemahnya corporate governance dari perusahaan di
AS. Pada awal krisis Enron, banyak pihak yang mengatakan bahwa Enron merupakan
pengecualian. Namun, timbulnya skandal akuntansi baru yang melibatkan Worldcom
dan Global Crossing membuktikan bahwa masalah ini cukup mewabah di perusahaan
Amerika.
Sebagai solusinya untuk mengatasi hal tersebut,
Pemerintah Amerika Serikat telah mengambil beberapa langkah untuk memperbaiki
transparansi ini dengan, antara lain, meminta sertifikasi dari CEO dan CFO
tentang akurasi data keuangan. Caranya, Pemerintah AS menetapkan tanggal 14
Agustus 2002 kepada 1.000 perusahaan publik teratas di Amerika untuk
mendapatkan sertifikasi dari CEO dan CFO tentang keakuratan dan reliabilitas
dari laporan keuangan.
Apabila perusahaan tersebut terbukti melakukan praktik
penyelewengan akuntansi sesudah 14 Agustus, maka pejabat tinggi perusahaan
tersebut dapat dituntut secara personal. Dengan adanya tenggat ini tentu saja
dapat diperkirakan akan lebih banyak 1.000 perusahaan teratas di Amerika yang
membuka borok-boroknya. Mungkin hal ini makin memperburuk kinerja saham-saham
di Wall Street. Tetapi, dengan tindakan ini, sebenarnya Pemerintah AS akan
mempersingkat masa krisis dan dapat dengan cepat memulihkan kepercayaan
investor.
Dari cerita tersebut, menurut pendapat saya yang
dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat sudah cukup bagus dengan meminta
sertifikasi dari CEO dan CFO tentang akurasi data keuangan, tetapi yang perlu
diperhatikan juga pada masalah ini adalah adanya sikap serakah dari eksekutif
senior dimana pada pemerintah negara Amerika Serikat terdapat kebijakan sistem
stock option yang mengizinkan eksekutif membeli saham dari perusahan yang
mereka kelola. Sehingga dikhawatirkan dengan adanya sistem ini menyebabkan
eksekutif perusahaan mencoba memaksmimalkan nilai saham dari perusahaan yang
kadang-kadang dilaksanakan dengan cara yang tidak etis dan sering kali
melanggar aturan atau hukum.
Sedangkan untuk akuntanya sendiri yang disini pihak
WorldCom memakai Arthur Andersen yang menurut sumber Accounting Today pada buku
Auditing karya Alvin A. Arens menyebutkan bahwa Arthur Andersen masuk ke dalam
urutan ke lima dalam ” The Big Five ” yaitu perusahaan-perusahaan yang berada
pada lima urutan pertama dan juga merupakan lima perusahaan akuntan publik
terbesar di Amerika Serikat. Dan pada masalah ini sebaiknya yang dilakukan oleh pemerintah
Amerika Serika segera melakukan tindakan tegas dengan membekukan akuntan kantor
akuntan publik Arthur Andersen karena Arthur Andersen sendiri sebelum terkuak
peristiwa skandal WorldCom juga pernah terlibat dalam skandal Enron yang menguapkan
sebesar US$ miliar kekayaan investor publik.
Sumber diambil dari beberapa reverensi salah satunya yaitu
http://andicitraoceani.blogspot.com/2012/09/kasus-worldcom.html